Judul dari tulisan ini saya ambil dari kompas edisi 31 Mei 2009 yang menyorot tentang kemiskinan yang dijadikan komoditas penghasil uang yang marak terjadi akhir-akhir ini. Dari mulai sebagai bahan jualan politik sampai tayangan publik di televisi, bahkan dijadikan sebuah paket wisata untuk menarik wisatawan yang ingin melihat potret kemiskinan yang ada di Indonesia saat ini.
"Jakarta Hidden Area Tour" namanya. Sebuah paket wisata yang membutukan biaya dari 65 sampai 165 dollar AS. Peserta tour ini biasanya paling banyak berjumlah 4 orang. "Kok ya ada model tour seperti ini ??" pikiran saya bertanya-tanya akan hal ini. Sang penggagas acara ini pun tentunya menuruti permintaan pasar yang boleh dibilang tinggi, utamanya dari turis mancanegara. Apakah tidak sungkan menawarkan sebuah program seperti ini? Kalo ditanya sungkan pasti jawabnya iya, tapi toh tetap saja dilakukan.
lalu apa reaksi "si miskin" terhadap hal ini??Ditanya seperti itu pastinya mereka jengkel akan perilaku ini, seperti yang saya baca dalam artikel tersebut. Tidak hanya paket wisata, seringkali mereka juga diambil gambarnya dan kemudian masuk menjadi potongan sebuah klip, film atau sekedar pameran yang tidak jarang menghasilkan keuntungan material bagi pembuatnya namun tidak bagi objek yang ada didalamnya.
Saya kaget dan tak percaya ketika pertama kali membaca artikel di koran tersebut. Kemiskinan begitu menariknya dijadikan objek oleh berbagai macam kalangan, dari mulai politikus sampai produser televisi. Menurut data Bappenas, angka kemiskinan tahun 2009 meningkat menjadi 33,7 juta jiwa atau sekitar 14% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Ini tentu “dagangan” yang menggiurkan untuk menaikan perolehan suara. Maka ramai-ramai mengklaim menjadi parpol yang membela “wong cilik”, pro rakyat atau semacamnya. Dengan bahan kampanye yang selalu sama yaitu seakan-akan peduli kaum miskin dan banyak janji yang ditebar seolah memberi harapan baru bagi masyarakat.
Tak ubahnya seperti para politisi yang pandai beretorika, para produser pun menjadikan kemiskinan sebuah komoditi untuk diputar di televisi. Diputarlah otaknya mengemas sebuah acara yang mampu memperoleh rating yang mampu menarik animo masyarakat banyak. Lahirlah acara yang berseliweran di televisi saat ini, seperti Minta Tolong, Bedah Rumah, Uang Kaget, Dibayar Lunas, Tukar Nasib, Pemberian Misterius, Tangan di Atas dan masih banyak lagi.
Terlepas dari efek acara tersebut bagi pemirsa dan dampak langsung bagi "si miskin" yang terlibat dalam acara, toh menurut saya acara tersebut kurang etis. Memanfaatkan kondisi ekonomi orang lain untuk meraih keuntungan. Lain lagi ketika keuntungan tersebut diberikan untuk berbagai kegiatan sosial, ataupun diberikan kepada yang berhak...memangnya ada??
Namun begitu setidaknya "si miskin" tadi mendapat sedikit manfaat dari acara tersebut, entah sembako atau barang-barang lainnya. Tapi tidak jarang hal tersebut kadang memberikan harapan semu kepada "si miskin" ketika ada kamera yang berkeliaran disekitar mereka, berharap itu adalah sebuah reality show yang bisa merubah hidup mereka seketika. Padahal ada hal yang lebih baik ketika mereka mau berusaha sendiri.
Semoga berbagai acara tadi dapat membuka mata kita dan pemegang kebijakan diatas sana untuk lebih memberikan langkah nyata dalam mengurangi kemiskinan yang ada di sekitar kita seperti tertuang dalam konstitusi kita bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Tentunya bukan kemiskinannya yang dipelihara agar terus dapat mengambil keuntungan dari acara-acara tadi, namun benar-benar membutuhakan langkah kongkret untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Masalah eksploitasi kemiskinan ini tentunya hal yang sensitif di masyarakat. Etis atau tidak?? Apa ya pantes?? ketika hal tersebut dijadikan sarana pencari keuntungan....
"Seksinya Kemiskinan"
Labels: my opinion , nulis aja
Opening
kurang lebih selama lebih dari 4 bulan saya tidak menulis. Lega rasanya akhirnya bisa nulis di blog ini...
sedikit berbicara mengenai konsistensi, tidak mudah memang, apalagi bagi seseorang yg baru belajar menulis seperti saya. Keringnya ide, keengganan untuk menulis, sibuk dan banyak kegiatan selalu dijadikan kambing hitam oleh saya.
menulis memang bukan perkara instan, setidaknya hal itu terbukti dari pengalaman saya. Menulis merupakan sebuah proses terus menerus yang selalu kita asah disetiap tulisan kita. Yang kadang membutuhkan studi dulu atau bahkan asal ngomong seperti saya ini. Menulis mengajak kita untuk selalu berpikir dan peka terhadap lingkungan sekitar. Mengembangkan ide dan imajinasi sang penulis.
namun tidak menulis selama 4 bulan menurut saya terlalu berlebihan. Inilah kadang yang selalu membelenggu saya, inkonsistensi ide dan kreatifitas. Semoga saya tidak meninggal blog ini lagi dan bisa selalu dapat "wangsit" untuk menulis...
salam..!
Labels: nulis aja